Pagi itu yang cerah menyelimuti kota Semarang, seperti biasa panas menjadi ciri kota Atlas ini. Nonik pergi bersama suaminya untuk memeriksa kandunganya. Usianya sudah matang, mungkin tinggal beberapa hari. Kijang Kotak melaju membelah kemacetan kota menuju rumah sakit di pinggiran kota Semarang. Cukup jauh dari tempat tinggal Nonik, namun karena sudah jadi dokter keluarga dan terpercaya sejak anak yang pertama. Berliana. Merekapun rela.
“Bagaimana dok, apakah sudah saatnya?” tanya Nonik didampingi Pri, suaminya.
“Ibu belum saatnya melahirkan, masih butuh beberapa hari lagi,” jelas sang dokter.
Kembali sang dokter menjelaskan kalau kondisi nonik juga belum stabil, nonik mempunyai penyakit gula. Di sarankan untuk memninum obat untuk memulihkan kondisi yang lebih baik sebelum persalinan.
Sebenarnya perasaan Nonik berkata lain, namun karena nasehat dokter yang telah dia percaya akhirnya urung protes dilayangkan. Berikutnya masa – masa penantian untuk melihat sang uah hati datang di dunia. Setiap malam dalam sujudnya, Nonik tak hentinya berharap untuk keselamatan si kecil. Hasil perkiraan USG, si kecil mempunyai kelamin laki – laki. Lengkap sudah keluarga Nonik karena kakaknya berliana sudah cantik, tinggal si ganteng mewarnai keceriaan rumah.
Oh, bulan puasa telah tiba. Si kecil masih belum mau keluar, “Kok betah di perut ibu sih nak?” celetuk Nonik suatu kali.
Anehnya setelah celetukan itu, tiba – tiba perut Nonik serasa kontraksi, terasa ada yang mau keluar. Segera ia menghubungi suaminya. Awalnya ingin dicek up di rumah sakit terdekat, Lagi – lagi karena kepercayaan akhirnya di rurjuk kepada rumah sakit sang dokter keluarga. Dan ternyata sudah waktunya jabang bayi untuk keluar.
Nonik memilih operasi tadi pada alami, biar tidak merasakan sakit katanya. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Nonik sehat, namun kegembiraan tidak berlangsung lama. Ada yang aneh dengan si kecil, dia diam. Sepertinya harus mendapatkan penanganan khusus. Nonik masih lemas, butuh istirahat setelah persalinan. Ketika Pri datang, segera “disambut” dengan pertanyaan oleh Nonik tentang jabang bayi. Naluri seorang ibu tidak bisa di bohongi, walaupun Pri suaminy sudah memasang tampang sewajar mungkin. Si kecil masuk incubator. Kondisinya lemah, jantungnya juga lemah, terindikasi meminum air ketuban. Bagaimana bisa?
Jelang lebaran,
Pagi hari, Sekar ditelfon nonik, “Dik deni drop”. Adek bungsu Nonik ini sempat terkejut, dia sehari sebelumnya sudah bertemu dengan Nonik dan keadaan dek Deni membaik, yah, si kecil telah bernama, Denial. Nama yang ganteng. Keadaan yang di alami si kecil, ternyata tak luput adanya indikasi mal praktek dari dokter yang menangani. Namun apa daya, Nonik tak sanggup berkutik.
. Berbekal pesan singkat Nonik, akhirnya Sekar dan eyang berangkat menuju Semarang. Sang tante segera menggeber Honda kesayangan untuk menuju rumah sakit, sementara eyang di jemput oleh mba Ana kakak sulung dengan mobil. Tengah hari mereka telah sampai. Tak seperti kabar pagi tadi, kedatangan mereka disambut dengan senyum lapang pasangan suami istri tersebut.
“Dik Deni sudah bisa bergerak, Alhamdulillah,” Pri menjelaskan.
Sang ayah begitu antusias menyiarkan kesehatan buah hatinya, kepada eyang dan adek iparnya. Nonik juga lega, sembari menggandeng eyang mengajak untuk melihat cucu kesayangnnya. Berliana, kakak Deni ikut di rumah sakit. Namun kali ini dia bergelayut dengan tante Sekar yang baru saja datang.
Hari - hari berikutnya, kabar demi kabar diterima Sekar, “Dik Doni masi di ICU,”. Begitu kabar dari Nonik.
Ada kabar tentang di rujuknya si kecil ke rumah sakit pemerintah di jantung kota Semarang, namun entah kenapa kabar itu tak kunjung terlaksana.
Dik Deni malaikat kecil Nonik,
Ahad berikutnya, menjelang dhuha Sekar kembali bertolak ke Semarang dengan eyang, kali ini naik bus. “Dik Deni kritis lagi,” begitu kabar yang di terima Sekar dari Nonik.
Berharap yang terbaik dari Alloh, sepanjang perjalanan tak lepas dari doa yang di panjatkan untuk kesembuhan si kecil.
Menjelang terik siang, eyang dan Sekar telah sampai di rumah sakit, mbak Ana dan mas Wit suaminya, kakak sulung Nonik juga telah berada di sana. Suasana ICU lengang. Tak banyak kata yang terucap. Hanya do’a terpanjatkan meski dalam diam.
Dokter keluar dari ICU, semburat wajah yang tidak menyenangkan terbaca. Nonik lemas, sedang Pri dan mas Wit mendekati dokter. Kelihatannya ada yang mau dibicarakan, mereka bertiga masuk kedalam ruang ICU. Waktu itu menunjukkan pukul 3.25 sore, cuaca sudah tidak terik, nyaman seharusnya. Namun tidak bagi ruangan ICU. Suasana mencekam penuh keharuan. Seorang jabang bayi sedang dipertaruhkan kehidupannya, tinggal takdir yang bicara.
4.30, apa yang terjadi terjadilah. Dik Deni telah kembali ke hariban - Nya. Kondisinya lemah, sehingga dia tidak sanggup lagi untuk bertahan. Tim medis sudah mencoba usaha yang terbaik, ditemukan pula tumor di jantung mungilnya. Semua telah kehendak Alloh, sekarang dik Deni tidak merasakan sakit lagi. Dik Deni pulang, pulang dalam diam. Sore itu buah hati segera dipulangkan ke rumah duka. Sekar dan mbak Ana tak henti – hentinya memberikan sandaran bahu kepada Nonik, begitu juga dengan eyangnya. Sementara Pri mencoba tabah dengan Deni di pangkuannya.
“Nak, ibu ikhlas. Gandeng ibu ke surge nanti nak ya?” itu ucapan terakhir Nonik kepada buah hatinya.
Secara perlahan tubuh mungil berselimut kafan putih diangkat sang ayah, digendongnya jasad tanpa dosa, Deni belum sempat melihat indahnya dunia. Waktu menjelang dhuha, jasad dik Deni akan dikebumikan. Nonik mengantar kepergian anak laki – lakinya dengan deraian air mata. Secara perlahan iring – iringan pelayat meninggalkan rumah duka, mengantar sang buah hati untuk bersemayam. Memori delapan belas hari membayang di benak Nonik, “Anakku, tenanglah engkau di sisi –Nya.”
*Selamat Jalan Dik Denial, Surga Menantimu.
Kota Daun, 3 September 2011 / 4 Syawal 1432 H, 4.30 Kabar Diterima Di Pantai Bandengan.
Selasa, 13 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar