Minggu, 11 September 2011

Jingga


Ketika orang – orang terlelap, berasyik – masyuk dengan selimut tebalnya atau mungkin dengan pasangannya. Di sebuah bangunan kecil di dekat surau desa, sepasang suami istri sedang gundah dan gelisah menanti kelahiran sang buah hati. Sang istri meringis kesakitan, sedang sang suami bingung dengan yang dilakukannya. Menurut perhitungan, bulan ini adalah bulan terakhir bagi ibu hamil tersebut untuk menyudahi masa kehamilannya. Benar saja, perutnya semakin membuncit dan rasa – rasanya sang ibu sudah tidak kuat lagi berbadan dua. Sedangkan sang suami yang setiap harinya sebagai petani cuma bisa kebingungan melihat sang istri mengaduh dan mengeluh tentang badannya yang sudah tidak seksi lagi.
“Mas, wetengku loro,” kata Ratri menjerit kesakitan sambil mengelus perutnya.
Sepertinya sudah mendekati masa – masanya untuk keluar bagi sang jabang bayi. Pardi, sang suami yang tadinya bingung sekarang menjadi tambah kalut, cepat – cepat dimatikan rokok yang ada di mulutnya. Diinjaknya punting rokok kretek murahan yang setiap paginya dihisap, di dekati istrinya yang sedang berbaring di dipan reot. Ratri memegangi perutnya, keringat terus mengucur dari kepalanya dan sekujur tubuhnya.
“Ratri, apa yang harus saya lakukan?” pertanyaan yang seharusnya tidak terucap oleh seorang suami.
Namun ini adalah pengalaman pertama bagi pasangan suami istri ditahun kedua pernikahan mereka. Pengetahuan yang tak cukup mereka kenyam membuat mereka bingung berbuat apa. Sementara pagi telah menyingsing dan mentari menjalankan tugasnya. Pagi ini sang suami libur bertani, istrinya tidak bisa ditinggal. Sedari tadi mengaduh sakit karena di perutnya serasa mau keluar sesuatu. Setelah mengabisnya lima batang rokok, baru teringat oleh Pardi kalau dia mempunyai tetangga yang baru saja melahirkan, Tari namanya.
“Sabar de, coba aku tak minta bantuan,“ Pardi coba menenangkan istrinya.
Secepat kilat lelaki paruh baya itu pergi ke samping rumahnya setelah melewati sepetak kebon singkong, akhirnya menemukan rumah Tari, tetangganya yang baru tiga bulan lalu diberi momongan.
“Tari, tolong aku, Ratri mengaduh kesakitan,” kata Pardi dengan muka yang panik dan memelas.
Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya, khawatir akan kondisi istrinya di rumah. Sementara Tari merasa iba, tapi juga bingung karena harus meninggalkan bayi yang sedang tidur terlelap. Tidak ada orang di rumah itu.
“Tidak ada orang di rumah, bagaimana ini?” Tari akhirnya juga ikut panik.
Tari mau untuk menolong, namun keadaanya menjadikan bimbang. Sebentar – sebentar dia melihat ke arah box banyinya.
“Bawa saja bayimu, tolong istriku. Kasihan dia,”Pardi terus mengiba.

Tari teringat sesuatu, diraihnya handphone di atas televisi dan memencent beberapa nomor yang ia telah hapal. Tari menghubungi seorang bidan yang dulu merawatnya, berharap sang bidan bisa datang untuk membantu. Namun apa mau di kata, ibu bidan sedang banyak pasien, Tari di sarankan ke tempat praktek agar bisa menolong sang ibu yang sedang hamil tersebut.
“Bagaiman kalau kita bawa ke bidan saja?” Tari mencoba memeberikan solusi.
Desa Wineh tergolong terpencil, masih jarang orang yang mempunyai motor, apa lagi mobil. Penduduknya mengandalkan angkota yang itupun jumlanhnya terbatas. Harus satu jam untuk menunggunya.
Pardi bergegas berlari ke rumahnya ketika sayup – sayup terdengar teriakan kesakitan. Tak tega dengan tetangganya, Tari pun tergesa – geasa menggendong anaknya dan menyusul ke rumah ratri.
“Apa yang mbak rasakan?” tanya Tari sambil mencoba menengangkan tetangganya yang sudah tidak karuan.
“Perutku sakit, rasanya mau keluar si jabang bayi ini,” jawab Ratri sambil menahan napas yang tersengal – sengal.
Di luar rumah, Pardi terus – terusan merokok sambil mondar – mandir tak tentu arah, entah apa yang dipikirkannya.
“Mas, sebaiknya segera dibawa ke bidan, kelihatanya waktunya hampir sampai,” Tari coba berbicara dengan Pardi.
Sang suami yang kelimpungan sedari tadi semakin kalut, puntung rokoknya di remas – remas. Tak dipedulikan panas rokoknya. Tari mencoba menelpon Pak RT, satu – satunya orang yang mempunyai mobil di desa itu. Bersyukur Pak RT saat itu sudah pulang dari pasar. Pertolongan datang.
“Hati – hati pak, jangan sampai terjatuh,” Pak RT memberikan arahan kepada beberapa warga yang mengangkat badan Ratri untuk dimasukkan ke dalam mobil pickup.
Ya, Pak RT memang satu – satunya yang mempunyai mobil di desa itu. Itupun mobil pick up bak terbuka karena Pak RT pekerjaanya mengangkut barang ke pasar. Mobil melaju dengan pasti, di belakang ada Ratri, Pardi, Tari dan seorang ibu memegangi sebuah kasur untuk alas. Jalan yang tidak bersahabat membuat tubuh mereka serasa terpental – pental tak karuan. Tentu saja sang istri semakin meringis kesakitan. Pardi iba melihatnya, sampai kemudian kejadian naas terjadi. Ban mobil bocor tepat di tengah persawahan ditengah terik sang surya.

Tari mencoba lagi menghubungi bidan tersebut, dan mujur. Kali ini bidannya tidak sesibuk tadi. Baru saja dia melayani pasien terakhirnya. Bidan itu janji akan meluncur ke tempat mereka terjebak. Setengah jam kemudian bidan datang, keadaan sudah tidak karuan. Ratri sudah mengejang – ngejang, keringat dingin mengucur membasahi dasternya. Basah kuyup.
“Ini sudah waktunya pak, bu. Tolong bisa carikan air?” bidan terlihat mulai panik melihat keadaan pasiennya.
Sang bidan mencoba menguasai keadaan, segera dia mendekati Ratri yang tergolek lemas di bak mobil. Di aturnya pernafasan Ratri agar rileks.
Pardi tergopoh – gopoh samabil membawa panci dan ember berisi air, entah dari mana ia mendapatkannya. Keringatnya keluar sejagung – jagung, badanya terlihat mengkilap oleh keringatnya yang tersengat matahari.

Prosesi persalinan dilakukan darurat di atas mobil Pak RT, sedari berangkat ternyata air ketuban telah pecah. Tari dan ibu yang mendampingi Ratri dengan sigap membantu sang bidan tak lupa Pardi yang senantiasa disamping sang istri memberikan semangatnya. Satu jam telah berlalu. Terdengar tangis bayi membahana di tengah – tenga jalan desa. Jalan yang tadinya sepi menjadi ramai layaknya tontonan gratis. Sejarah baru, seorang anak lahir di tengah jalan di atas mobil terbuka. Suasana mengaharu biru mewarnai kelahiran seorang anak perempuan di hari itu, takjub bercampur bahagia atas perjuangan sepasang suami istri untuk buah hatinya. Semua scenario Alloh begitu indah.
Dengan lembut sang ibu memegang jabang bayi, diciumnya berkali – kali. Tak ada rasa marah karena jabang bayi telah menyusahkannya 9 bulan ini. Ucapan syukur berkali – kali terlontar dari mulutnya. Matahari mulai menguning, berganti warna dan tidak terik lagi. Lengser dari tahtanya berganti dengan permaisuri sang rembulan yang akan menyinari malam nan gelap.
Sang ibu melihat anaknya yang tengah terlelap tidur, mungkin juga kecapekan tidak keluar – keluar dari rahim ibunya.
Dengan lirih sang ibu berkata, “Jingga, selamat datang di dunia. Ibu akan selalu menyayangimu.”
Sebuah kecupan mendarat di kening mungil sang bayi. Jingga namanya, sama seperti langit kala itu. Jingga.

Kota Daun, 11 September 2011/ 12syawal 1432.

0 komentar:

Posting Komentar

    Blogger news

    Blogroll

    About